Jhon "Pantau" & Pancasila di Awang2
Jhon "Pantau" & Pancasila di Awang2
Sabtu, 17/05/2008, pukul 15.00 WIB, saya menonton sebuah naifo-tainment (tayangan hiburan nyata yang naif) di Trans TV. Judulnya Jhon “Pantau”. Waktu itu tema yang diangkat adalah nasionalisme menjelang kebangkitan nasional. Meski begitu, saya kira cerita tema ini masih pas untuk diungkit pada moment peringatan Hari Pancasila ini. Acara ini dikonsep dalam studi kasus sejauhmana masyarakat umum mengenal negara ini; Pancasila dan lambang-lambangnya, dan beberapa lagu wajib nasional.
Jhon, sebagai pembawa acara turun ke jalan untuk survey. Ia menanyai beberapa orang: pembersih jalan, pejalan kaki, polisi, artis, satpam, anak jalanan, anak punk, pelajar sekolah, guru, dan pejabat pemerintahan.
Saat Jhon bertanya pada seorang ibu setengah nenek-nenek yang bekerja membersihkan jalan, apakah ia tahu Pancasila atau tidak. Ibu itu berkata: tahu. Saat ditanya apa sila kedua Pancasila, ibu itu menjawab: Garuda Pancasila! Jhon juga menanyakan salah satu sila Pancasila dan lambangnya kepada seorang polisi yang sedang dinas di jalan. Jawaban polisi itu salah sekaligus tidak tahu lambangnya. (Adik saya menyela, katanya: sepertinya, itu polisi yang masuk kepolisian lewat jalur KKN! ).
Jhon menelusuri sekolah. Ia menanyakan pertanyaan yang sama ke beberapa murid sekolahan. Si murid salah. Saat guru sang murid ditanya mengapa muridnya bisa salah dan tidak hafal Pancasila, si guru malah ngoceh bla-bla-bla yang –menurut saya- lebih sebagai apologi (bela diri) yang tidak kuat. Jawaban salah lagi juga diberikan oleh seorang guru di sekolah yang sama. Aneh, guru dan murid kompak sama-sama tidak hapal Pancasila berikut lambang-lambangnya! Sudah begitu, mereka mengatakan bahwa selama ini mereka sebagai guru lebih menekankan pada aplikasi dan pelaksanaan Pancasila. (Ajaib, mau mengaplikasikan kok gak hafal apa yang akan diaplikasikan… )
Jhon terus menelusuri jalanan. Tak berapa lama, ia bertanya pada anak punk yang wajahnya bertindik dan telinganya beranting. (Hemat saya, kalau wajah bertindik & telinga beranting, pasti tubuhnya bertato. Dan, tato lebih cenderung diartikan oleh masyarakat kita dengan citra yang salah: Preman!) . Mengejutkan, ternyata si anak punk malah bisa menjawab apa itu sila ketiga pancasila, apa lambangnya, dan menyanyikan beberapa lagu nasional!
Jhon bergerak lagi menyusuri Jakarta. Ia bertemu dua orang satpam. Pertanyaan yang sama diajukan. Tapi kali ini si Satpam diminta Jhon untuk menggambarkan lambang-lambang Pancasila di sebuah kertas lukis berukuran Jumbo, yang di kertas itu, tempat kosong bagi masing-masing lambang Pancasila telah disediakan. Satpam itu salah, karena ia hanya ingat ruang bagi pohon beringin yang diletakkan di pojok kanan di bawah kaki burung Garuda. (Ia ingat pohon beringinnya, tapi salah letaknya!)
Jhon bertemu artis, kalau tidak salah, Shireen Sungkar dan teman laki-lakinya yang hendak memasuki mobil. Ia mengajukan pertanyaaan yang sama plus meminta Shireen menyanyikan satu lagu nasional. Sama seperti pak Satpam, Shireen juga gagal.
Lalu Jhon berjalan di sebuah taman hiburan. Ada beberapa orang ABG yang diminta Jhon menggambarkan dan mengurutkan lambang-lambang Pancasila sebagaimana telah diajukan kepada Satpam. Ternyata, para ABG juga gagal. Malah ada yang menggambarkan sebuah ‘timbangan’ dan ‘musholla’ sebagai lambang Pancasila! (Saya membatin, mungkin para ABG itu meresapi Pancasila sebagai tata astrologi di sebuah tabloid atau majalah gaul yang ia baca setiap minggu. Kalau tidak, mungkin mereka juga menghayati Pancasila sebagai simbol agama tertentu).
Jhon bergerak, menemui artis yang sedang naik daun, Afgan. Jhon memintanya menyanyikan sebuah lagu kebangsaan. Afgan tidak hafal. Saat diminta menyebutkan judul lagu itu pun ia salah. Hanya saja, waktu itu Jhon bertemu Cokelat Band, yang tenar dan getol menyanyikan lagu-lagu nasional di sebuah albumnya. Cokelat sukses menjawabnya, sekaligus mampu memenuhi permintaan Jhon untuk menyanyikan beberapa lagu nasional. Namun, salah seorang personel Cokelat, kalau tidak salah si Edwin, pada awalnya salah jawab dan ia tampak tidak ikut menyanyikan beberapa lagu nasional hingga lagu selesai dinyanyikan.
Terakhir, Jhon pun masuk ke gedung sekretariat kementrian pemuda dan olah raga. Ia masuk ke ruangan pak menteri Adhyaksa Dault, lalu bertanya kepadanya: apa lambang sila Pancasila yang kedua. Pak menteri diam sebentar dengan rona heran bin (pura-pura) bingung di wajahnya. Katanya: “lambang apa?” (Saat ucapan “lambang apa” itu diajukan, hemat saya Pak menteri pura-pura tidak connect….).
Jhon mengulangi pertanyaan. Pak menteri malah balik tanya pada Jhon, menurut kamu lambangnya apa? (saya membatin lagi, memangnya lambang Pancasila itu “menurut-menurutan?”). Jhon menjawab, dengan jawaban yang salah: padi dan kapas! Eee… Pak menteri malah memburu tanya; kenapa padi dan kapas? (Kok, Pak Menteri gak menyalahkan jawaban Jhon yang jelas-jelas salah!) Jhon menjawab, tidak tahu pak. Pak menteri menjawab: nah itu dia. Setelah itu ada adegan cerita yang dipotong/diedit di tayangan itu.
Jhon meminta izin pada pak menteri untuk menanyai karyawan dan stafnya. Pak menteri mengizinkan. Cuma 1 staf yang ditanya. Meski jawabannya ada yang benar dan ada salah, tapi sang staf pak menteri menjawabnya dalam tempo pikir yang lumayan agak lama.
Kesimpulannya: kalau hafal sila dan lambang pancasila dan bisa menyanyikan lagu nasional itu dipakai sebagai tolok ukur nasionalisme Indonesia (kita), memang belum tentu menjadi jaminan apakah kita ini nasionalis atau tidak. Tapi, tentu hafal sila dan lambang pancasila dan bisa menyanyikan lagu nasional itu bisa digolongkan sebagai kulit luar nasionalisme kita. Dari kulit luar itu kita bisa menge-test sejauhmana kadar nasionalisme kita yang sangat mungkin untuk dinilai secara seklias. Jadi, dalam hal ini anak punk lebih kuat dan besar kadar nasionalismenya dibanding pembersih jalan, anak sekolahan, guru sekolah, polisi, satpam, artis, ABG, hingga pak menteri!
Marilah kita merasa malu pada anak punk yang sehari-harinya nongkrong di persimpangan. Karena kita (terutama saya) mungkin pun tidak bisa menjawab apa yang ditanyakan Jhon “Pantau” itu. Saya sendiri, meski saya hafal Pancasila, tapi saya sendiri baru menyadari kalau ternyata saya pun tidak hafal lambang-lambang sila Pancasila yang ada di dada burung Garuda berikut tata letaknya. Itu pun baru saya sadari setelah acara Jhon “Pantau” selesai. Malu lah saya!
Selamat hari Pancasila!
[justify]
Jhon, sebagai pembawa acara turun ke jalan untuk survey. Ia menanyai beberapa orang: pembersih jalan, pejalan kaki, polisi, artis, satpam, anak jalanan, anak punk, pelajar sekolah, guru, dan pejabat pemerintahan.
Saat Jhon bertanya pada seorang ibu setengah nenek-nenek yang bekerja membersihkan jalan, apakah ia tahu Pancasila atau tidak. Ibu itu berkata: tahu. Saat ditanya apa sila kedua Pancasila, ibu itu menjawab: Garuda Pancasila! Jhon juga menanyakan salah satu sila Pancasila dan lambangnya kepada seorang polisi yang sedang dinas di jalan. Jawaban polisi itu salah sekaligus tidak tahu lambangnya. (Adik saya menyela, katanya: sepertinya, itu polisi yang masuk kepolisian lewat jalur KKN! ).
Jhon menelusuri sekolah. Ia menanyakan pertanyaan yang sama ke beberapa murid sekolahan. Si murid salah. Saat guru sang murid ditanya mengapa muridnya bisa salah dan tidak hafal Pancasila, si guru malah ngoceh bla-bla-bla yang –menurut saya- lebih sebagai apologi (bela diri) yang tidak kuat. Jawaban salah lagi juga diberikan oleh seorang guru di sekolah yang sama. Aneh, guru dan murid kompak sama-sama tidak hapal Pancasila berikut lambang-lambangnya! Sudah begitu, mereka mengatakan bahwa selama ini mereka sebagai guru lebih menekankan pada aplikasi dan pelaksanaan Pancasila. (Ajaib, mau mengaplikasikan kok gak hafal apa yang akan diaplikasikan… )
Jhon terus menelusuri jalanan. Tak berapa lama, ia bertanya pada anak punk yang wajahnya bertindik dan telinganya beranting. (Hemat saya, kalau wajah bertindik & telinga beranting, pasti tubuhnya bertato. Dan, tato lebih cenderung diartikan oleh masyarakat kita dengan citra yang salah: Preman!) . Mengejutkan, ternyata si anak punk malah bisa menjawab apa itu sila ketiga pancasila, apa lambangnya, dan menyanyikan beberapa lagu nasional!
Jhon bergerak lagi menyusuri Jakarta. Ia bertemu dua orang satpam. Pertanyaan yang sama diajukan. Tapi kali ini si Satpam diminta Jhon untuk menggambarkan lambang-lambang Pancasila di sebuah kertas lukis berukuran Jumbo, yang di kertas itu, tempat kosong bagi masing-masing lambang Pancasila telah disediakan. Satpam itu salah, karena ia hanya ingat ruang bagi pohon beringin yang diletakkan di pojok kanan di bawah kaki burung Garuda. (Ia ingat pohon beringinnya, tapi salah letaknya!)
Jhon bertemu artis, kalau tidak salah, Shireen Sungkar dan teman laki-lakinya yang hendak memasuki mobil. Ia mengajukan pertanyaaan yang sama plus meminta Shireen menyanyikan satu lagu nasional. Sama seperti pak Satpam, Shireen juga gagal.
Lalu Jhon berjalan di sebuah taman hiburan. Ada beberapa orang ABG yang diminta Jhon menggambarkan dan mengurutkan lambang-lambang Pancasila sebagaimana telah diajukan kepada Satpam. Ternyata, para ABG juga gagal. Malah ada yang menggambarkan sebuah ‘timbangan’ dan ‘musholla’ sebagai lambang Pancasila! (Saya membatin, mungkin para ABG itu meresapi Pancasila sebagai tata astrologi di sebuah tabloid atau majalah gaul yang ia baca setiap minggu. Kalau tidak, mungkin mereka juga menghayati Pancasila sebagai simbol agama tertentu).
Jhon bergerak, menemui artis yang sedang naik daun, Afgan. Jhon memintanya menyanyikan sebuah lagu kebangsaan. Afgan tidak hafal. Saat diminta menyebutkan judul lagu itu pun ia salah. Hanya saja, waktu itu Jhon bertemu Cokelat Band, yang tenar dan getol menyanyikan lagu-lagu nasional di sebuah albumnya. Cokelat sukses menjawabnya, sekaligus mampu memenuhi permintaan Jhon untuk menyanyikan beberapa lagu nasional. Namun, salah seorang personel Cokelat, kalau tidak salah si Edwin, pada awalnya salah jawab dan ia tampak tidak ikut menyanyikan beberapa lagu nasional hingga lagu selesai dinyanyikan.
Terakhir, Jhon pun masuk ke gedung sekretariat kementrian pemuda dan olah raga. Ia masuk ke ruangan pak menteri Adhyaksa Dault, lalu bertanya kepadanya: apa lambang sila Pancasila yang kedua. Pak menteri diam sebentar dengan rona heran bin (pura-pura) bingung di wajahnya. Katanya: “lambang apa?” (Saat ucapan “lambang apa” itu diajukan, hemat saya Pak menteri pura-pura tidak connect….).
Jhon mengulangi pertanyaan. Pak menteri malah balik tanya pada Jhon, menurut kamu lambangnya apa? (saya membatin lagi, memangnya lambang Pancasila itu “menurut-menurutan?”). Jhon menjawab, dengan jawaban yang salah: padi dan kapas! Eee… Pak menteri malah memburu tanya; kenapa padi dan kapas? (Kok, Pak Menteri gak menyalahkan jawaban Jhon yang jelas-jelas salah!) Jhon menjawab, tidak tahu pak. Pak menteri menjawab: nah itu dia. Setelah itu ada adegan cerita yang dipotong/diedit di tayangan itu.
Jhon meminta izin pada pak menteri untuk menanyai karyawan dan stafnya. Pak menteri mengizinkan. Cuma 1 staf yang ditanya. Meski jawabannya ada yang benar dan ada salah, tapi sang staf pak menteri menjawabnya dalam tempo pikir yang lumayan agak lama.
Kesimpulannya: kalau hafal sila dan lambang pancasila dan bisa menyanyikan lagu nasional itu dipakai sebagai tolok ukur nasionalisme Indonesia (kita), memang belum tentu menjadi jaminan apakah kita ini nasionalis atau tidak. Tapi, tentu hafal sila dan lambang pancasila dan bisa menyanyikan lagu nasional itu bisa digolongkan sebagai kulit luar nasionalisme kita. Dari kulit luar itu kita bisa menge-test sejauhmana kadar nasionalisme kita yang sangat mungkin untuk dinilai secara seklias. Jadi, dalam hal ini anak punk lebih kuat dan besar kadar nasionalismenya dibanding pembersih jalan, anak sekolahan, guru sekolah, polisi, satpam, artis, ABG, hingga pak menteri!
Marilah kita merasa malu pada anak punk yang sehari-harinya nongkrong di persimpangan. Karena kita (terutama saya) mungkin pun tidak bisa menjawab apa yang ditanyakan Jhon “Pantau” itu. Saya sendiri, meski saya hafal Pancasila, tapi saya sendiri baru menyadari kalau ternyata saya pun tidak hafal lambang-lambang sila Pancasila yang ada di dada burung Garuda berikut tata letaknya. Itu pun baru saya sadari setelah acara Jhon “Pantau” selesai. Malu lah saya!
Selamat hari Pancasila!
[justify]
yaser- Cyberian
- Jumlah posting : 14
Age : 41
Lokasi : Medan-Jakarta-Jogja
Registration date : 30.03.08
Similar topics
» SLANK SIAP GO INTERNATIONAL "Dari Gang Potlot Menuju Mancanegara"
» LASKAR PELANGI THE MOVIE "Film penggugah hati nurani bangsa Indonesia"
» SLANK ORIGINAL SOUNDTRACK "GENERASI BIRU"
» "PULAU BIRU " DIJADIIN SOUNTRACK FILM...
» ALBUM BARU "Slank Anti Korupsi"
» LASKAR PELANGI THE MOVIE "Film penggugah hati nurani bangsa Indonesia"
» SLANK ORIGINAL SOUNDTRACK "GENERASI BIRU"
» "PULAU BIRU " DIJADIIN SOUNTRACK FILM...
» ALBUM BARU "Slank Anti Korupsi"
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik